Kuliah Kerja Lapangan? Ngapain Aja, ya?

Hallo friends, sesi kali ini aku mau menceritakan pengalaman aku selama mengikuti perkuliahan Kuliah Kerja Lapangan atau disingkat KKL. Pada blog ini aku bakal lebih sering menyebutnya KKL ya, karena lebih simple hehe…. 

KKL ini dilaksanakan selama 5 hari di Banten dan Bandung. Tempat tujuan kami yaitu, Suku Baduy Dalam, Kesbangpol Bandung, Kampung Saritem, Kampung Toleransi di Gang Luna, dan Farm House. Perjalananku bersama teman- teman satu angkatan berlangsung selama kurang lebih 15 jam menggunakan kendaraan bus (lokasi keberangkatan: Yogyakarta). Alhamdulillah selama perjalanan menuju Banten, tempat tujuan pertama kami, tidak ada hambatan sedikitpun. Kami juga menikmati perjalanan ditemani oleh Tour Leader yang kece dan seru, sehingga suasana di bus tidak membosankan. Sopir dari bus yang kami tumpangi juga sudah pasti sangat jago mengemudikan busnya, sehingga kami bisa sampai di Banten tepat waktu. 

Tidak banyak yang aku persiapkan selama perjalanan ini, aku hanya membawa 1 koper berukuran sedang, 1 tas kecil, dan totebag kesayanganku. Seperti traveller- traveller biasanya, aku mempersiapkan segala perlengkapan yang aku butuhkan dengan teliti selama 2 hari agar tidak ada yang tertinggal sehingga aku bisa menikmati KKL ku selama di sana. Aku mengkotak- kotakkan pakaian yang akan aku kenakan ke dalam plastik untuk efisien waktu saat akan berganti. Oh iya, menurut aku pribadi mengkotak- kotakan pakaian itu selain efisien waktu juga bisa menghemat ruang di dalam koper loh. Aku juga belajar bagaimana melipat pakaian untuk disimpan di koper. Aku suka menggunakan trik melipat pakaian ala Marie Kondo. Kalian bisa cek trik tersebut di youtube karena itu efisien banget untuk menghemat ruang koper. Beberapa pakaian yang aku persiapkan ada pakaian untuk tracking ke Baduy, pakaian saat di Baduy, pakaian untuk diskusi di Kesbangpol, Saritem, Kampung Toleransi, dan Farm House. Tak lupa ada jas almamater kebanggaan universitas dan PDL (Pakaian Dinas Lapangan) kebanggaan departemenku, hehe…

Selain pakaian, aku juga membawa sepatu untuk menghadiri acara- acara formal dan sendal gunung untuk tracking ke Baduy, perlengkapan mandi, skincare agar kulit tetap terawat, dan make-up untuk mempercantik tampilan dimanapun dan kapanpun hehe....

Serta perlengkapan obat- obatan pribadi. Menurut aku, obat- obatan pribadi yang wajib dibawa sendiri itu minyak sih, hehe… karena ketika perut terasa perih dan mual, pegel- pegel, pusing, pertolongan pertama yang lumayan manjur banget itu minyak, hehe… tapi ketika rasa sakitnya tidak mengalami penurunan, segera saja untuk menghubungi penanggung jawab kesehatan dan meminta obat yang dibutuhkan, ya… 

Nah, itu saja perlengkapan yang aku bawa selama KKL di Banten dan Bandung. Saatnya aku akan membuka lebar bagaimana keseruanku bersama teman- teman selama di Baduy, Kesbangpol, Saritem, Kampung Toleransi, dan Farm House. 

1. Perjalanan Yang Kuimpikan Setiap Melihat Tayangan Berita Tentang Baduy Di Televisi

Sesuai dengan sub judul di atas. Perjalanan ke Baduy ini menjadi salah satu perjalanan yang sangat aku impikan selama beberapa tahun silam. Kalau tidak salah sejak SMP, setiap kali melihat tayangan berita Baduy pasti ada perasaan dimana aku ingin ke sana, biasanya secara spontan aku juga bilang “ Ah, aku pengen ke sana.” 

Dan, qodarullah ternyata Allah mendengar dan mengabulkannya. Syukur Alhamdulillah, aku sangat bersyukur atas kesempatan yang telah diberikan ini, sehingga aku sangat antusias mengikuti kegiatan KKL di Baduy dan Bandung. Buat temen- teman jangan ragu untuk mengungkapkan impiannya ya, ungkapkan impian itu dengan percaya diri dan yakin seolah- olah Allah akan mengabulkannya.

Sebelum tracking ke Baduy, kami transit dulu di Terminal Ciboleger. Tidak seperti yang ada dalam bayangku, ternyata perjalanan menuju terminal Ciboleger ini tidak gampang, banyak tanjakan dan turunan yang memacu adrenalin, apalagi kanan- kiri jalan yang kami lewati adalah jurang yang kami tidak tahu seberapa dalam jurang tersebut karena hari yang gelap pada saat itu. Tapi, Alhamdulillah perjalanan ini berjalan mulus berkat sopir kami yang sangat bertalenta, berpengalaman, hebat luar biasa, jago banget, beliau bisa mengontrol busnya dengan sangat baik sehingga kami tidak merasakan ketakutan, justru kami menikmati perjalanan tersebut. Sepanjang perjalanan aku dibuat kicep oleh kemampuan sopir yang luar biasa.

Kami tiba di terminal pukul 4 pagi, tepat saat adzan shubuh berkumandang. Suhu di wilayah terminal Ciboleger sangat rendah sehingga aku merasa kedinginan saat tiba, tapi setelah berjam- jam di sana aku mulai beradaptasi dengan suhu udaranya sehingga merasa biasa aja. Sampai di sana, kami mandi, makan, dan mempersiapkan diri untuk tracking menuju Baduy Dalam. Perjalanan ini, kesabaran kami benar- benar diuji, karena kami harus melakukan apapun dengan mengantre, seperti ke kamar mandi, makan, wudhu, dan shalat. Aku salut banget dengan teman- temanku karena tidak ada satupun yang protes ketika antrean memanjang. Mungkin mereka merasa kesal dengan antrean panjang, tapi menurunkan ego dan mengelola emosi memang lebih baik dalam hal ini. 

Setelah semuanya siap, kami bersiap naik shuttle menuju Cijahe. Lagi- lagi perjalanan ini tidak semulus yang aku bayangkan, banyak tanjakan dan turunan serta kondisi jalan yang rusak yang justru mengenang dalam ingatanku karena perjalanannya menjadi lebih seru. Sampai di Cijahe, di sana sudah ada anak- anak dari Baduy yang siap membawakan barang dan menemani perjalanan kami menuju Baduy Dalam. Kami tracking ke Baduy dipimpin oleh leader dari Wisata Suku Baduy. Berhubung perjalananku bersama 11 temanku dan 3 dosen berada di urutan terakhir, maka kami dilewatkan jalan yang terdekat dan berbeda dari rombongan lain oleh leader. Perjalanan semakin seru karena ditemani oleh anak Baduy asli yang membawakan barang kami, yaitu Sarim, Kijot, Arif, dan Sainuddin. Sambil menikmati pemandangan indah selama tracking, kami mengobrol dan berbagi makanan satu sama lain. Tak lupa kami juga mengabadikan moment ini dengan mengambil foto dan video.

Kami melewati jalan setapak yang dipenuhi dengan semak belukar, tanah becek yang membuat beberapa personil kami terpeleset, serta tanjakan dan turunan yang licin sehingga kami harus memiliki tumpuan kaki yang kuat. Namun, medan jalan yang tidak mulus ini pun akhirnya dapat kami lewati dengan baik karena bantuan dan dorongan satu sama lain. Hingga pada akhirnya aku termasuk dalam 3 orang pertama yang sampai di tanah Baduy Dalam. Kedatangan kami disambut baik oleh masyarakat Baduy, terutama anak- anak yang telah menantikan kedatangan kami, mereka bersorak senang sambil mengatakan “ datang, datang, datang.” Rasa lelah yang sebelumnya menyelimuti perjalalanan kami pun terbayar dengan keramahan masyarakat Baduy yang cantik- cantik dan ganteng- ganteng serta suasana sejuk di Kampung Baduy. Burung- burung berkicauan ke sana kemari dibersamai suara gemericik air sungai dan suara anak- anak kecil bermain di sungai. Sungguh pemandangan yang sulit aku temui di kota. Hidup di Baduy akan terasa healing setiap hari karena kami akan dijauhkan oleh suasana hiruk pikuk kota yang membuat pikiran dan hati kita menjadi tidak tenang. 

Selama di Baduy, aku bersama 5 teman lain dan 2 dosen menginap di rumah Ayah Ardi dan Ambu Darti. Sesampainya di sana, kami disajikan makanan yang dimasak oleh Ambu Darti dengan menu tempe goreng, sayur asam, dan ikan emas. Semua peralatan yang digunakan untuk memasak masih sederhana, tapi tidak mengurangi cita rasa makanannya. Kami menyantap makanan dengan lahap bersama- sama. 

Baduy Dalam adalah suku yang terkenal dengan kemurniannya karena menolak modernisasi. Tidak ada kendaraan, tidak ada listrik, tidak ada elektronik, tidak ada sendal, tidak ada toilet, tidak ada kompor gas, tidak ada handphone, tidak ada kasur, tidak ada sabun, tidak ada skincare, tidak ada lemari, tidak ada pakaian mewah, tidak ada tas branded, tidak ada buku, tidak ada rumah sakit, tidak ada sekolah, dan tidak ada fasilitias umum lainnya. Namun, mereka bisa betahan hidup sampai sekarang hanya dengan mengandalkan lingkungan alam yang mereka kelola dan lestarikan bersama. Kontribusi mereka untuk menjaga hutan di Indonesia sangat besar, tapi mereka tidak mengharapkan sepeser pun bantuan dari pemerintah. Betapa mulianya masyarakat Baduy untuk kesejahteraan anak cucu kita nanti. 

Selama 1 hari 1 malam kami menginap di rumah masyarakat suku Baduy. Kami bertahan hidup tanpa listrik dan handphone yang menjadi teman interaski kita sehari- hari. Suatu hal yang terlihat mustahil, ternyata kami bisa melakukannya dengan baik. Justru moment ini juga menjadi kesempatan bagi kami untuk mengenal satu sama lain dengan teman satu angkatan dalam departemen. Bahkan, aku berkomunikasi baik dan berbagi ilmu seolah- olah teman akrab dengan satu teman angkatan yang sebelumnya tidak pernah aku temui. Kondisi ini memaksa dan membentuk kami untuk lebih solid. 

Lambat laun, aku mulai beradaptasi dengan cara hidup masyarakat Baduy. Sungai merupakan titik tempat untuk melaksanakan berbagai kegiatan, seperti mencuci, mandi, buang air besar/  kecil, dan sebagainya, tidak ada penutup dan sekat antara satu sama lain. Kami pun melakukan demikian, buang air di tempat terbuka, untuk menghargai adat istiadat masyarakat Baduy. Malam kami yang gelap dan dingin pun hanya ditemani oleh satu penerang dari api yang menyala kecil dan tikar dari anyaman daun, untungnya kami mengikuti saran Tour Leader untuk membawa selimut. Ketika hari semakin gelap, rasa dingin pun semakin menusuk ke dalam tubuhku, namun hal itu tidak mengurangi kenyamananku untuk tidur nyenyak, justru aku merasakan suasana yang sama ketika aku tidur di rumah, itulah salah satu yang membuatku kagum dan terkesan saat di Baduy.

Banyak ilmu dan pengalaman yang aku peroleh selama menetap di Baduy selama 1 hari 1 malam. Aku menjadi lebih bersyukur terhadap kenyataan yang saat ini aku miliki, karena masih ada orang di luar sana yang tidak seberuntung aku. Aku juga harus bisa beradaptasi dengan kondisi yang berbeda atau tidak sesuai dengan yang aku harapkan, tidak mudah menyerah dan kuat menghadapi situasi apa pun. 

Terima kasih masyarakat Suku Baduy… See you again!


2. Suatu Kehormatan Belajar Langsung Bersama Bpk. Bambang Sukardi, M. Si, Kepala Kesbangpol Jawa Barat

Hari kedua, setelah dari Baduy, kami melanjutkan study ke Kesbangpol. Kami berdiskusi langsung bersama Kepala Kesbangpol beserta jajarannya yang luar biasa. Tidak kusangka, ternyata Bapak Bambang adalah sosok pemimpin yang humble. Pandangan pertamaku, lingkungan kerja di Kesbangpol pasti asyik dan seru. Banyak ilmu tentang peran Kesbangpol yang diberikan. Hasil kerja mereka cenderung ghoib tapi memiliki kontribusi besar terhadap penguatan nilai- nilai pencasila dan cinta tanah air oleh masyarakat di Kota Bandung, terutama partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu. Diskusi kami berlangsung secara aktif meskipun tidak semua teman satu angakatan hadir di kantor kesbangpol karena keterbatasan ruang. Kami yang berada di Bus 1 diberi kesempatan untuk hadir secara langsung di kantor, sedangkan Bus 2 dan 3 berkumpul di Hotel Fabu dan diskusi dengan pejabat Kesbangpol yang bertugas.

Rasa ingin tahu dan pertanyaan mulai bermunculan Ketika ruang diskusi mulai dibuka. Satu per satu dari kami menanyakan mengenai peran Kesbangpol dan kesulitan yang pernah dihadapinya. Aku pun yang penasaran dengan Kampung Toleransi memberanikan diri untuk bertanya terkait bagaimana pendirian Kampung Toleransi dapat terjadi. Kegiatan diskusi ditutup dengan pernyataan oleh Pak Bachtiar, salah satu pejabat di Kesbangpol. Sebelum ke Hotel Fabu, kami pun melakukan pemotretan bersama Pak Bambang,


3. Diskusi Bersama Ketua RW Kampung Saritem 

Kampung Saritem adalah salah satu kampung yang terkenal sebagai tempat prostitusi. Kampung ini memiliki banyak PSK (Pekerja Seks Komersial) yang datang dari berbagai kota di Indonesia, terutama dari Jawa dan Subang. Mereka berkumpul di kampung tersebut untuk bekerja melayani para laki- laki yang menggunakan jasa mereka untuk mendapatkan upah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Diskusi bersama Ketua RW Kampung Saritem berlangsung secara aktif selama kurang lebih 1 jam di Hotel Fabu. Banyak teman yang penasaran dengan keberadaan Kampung Saritem, baik dari PSKnya, pelanggannya, pengelolaannya, dan kasus- kasus lain sehingga banyak yang mengajukan pertanyaan. Satu hal yang membuatku spechlees adalah kegiatan di Kampung Saritem ini dilakukan secara terselebung, meskipun pemerintah setempat telah melarang kegiatan tersbut, mereka tetap bersikukuh melakukannya. Di sisi lain, pemerintah tidak menawarkan solusi bagi para PSK, apabila pekerjaan itu mereka larang. Pemerintah seharusnya memberikan solusi seperti membekali mereka dengan kemampuan atau kreativitas tertentu sehingga bisa memperoleh penghasilan yang halal melalui kreativitas tersebut. Banyak informasi yang kami peroleh dari Ketua RW tersebut yang dapat menambah wawasan kami tentang Kampung Saritem. Ada 10 teman kami yang berkesempatan mengikuti wawancara langsung kepada PSK, wawancara dilaksanakan di ruang berbeda. 

Berdasarkan data yang aku peroleh dari Ketua RW, menjadi PSK itu berat karena segala beban harus mereka tanggung sendiri secara pribadi, apalagi jika ada suatu hal yang diluar kendali atau tidak mereka inginkan. Para PSK pastinya juga tidak ingin menekuni pekerjaan tersebut, tapi karena tuntutan ekonomi dan kesulitan mencari pekerjaan, menjadi PSK adalah sesuatu yang sulit dilepaskan. Apalagi upah yang diberikan tiap jamnya juga dapat menunjang kehidupan mereka.


4. Potret Bhineka Tunggal Ika, Kampung Toleransi di Gang Luna

Perjalanan dilanjutkan ke Gang Luna. Seperti biasa, rombongan bus kami di kawal oleh polisi agar perjalanan berjalan lancar dan terhindar dari macet, karena menjelang sore hari Kota Bandung semakin macet, banyak kendaraan besar yang berlalu lalang. Tanpa bantuan kawal dari polisi, mungkin rombongan kami tidak akan tiba tepat waktu di tempat tujuan. 

Kampung Toleransi di Gang Luna adalah salah satu kampung toleransi yang dimiliki pemerintah Kota Bandung. Kampung ini terkenal memiliki warga yang terdiri dari berbagai agama, yaitu islam, Kristen, katholik, budha, dan kong hu chu. Hidup mereka berdampingan dengan kultur agama, ras, suku, dan golongan yang berbeda- beda. Warga di sana sangat menjunjung tinggi toleransi sehingga kehidupannya damai.

Kampung toleransi di Gang Luna diresmikan pada tanggal 20 Agustus 2017. Terdapat 4 vihara, 4 gereja, dan 2 masjid yang berdiri di gang tersebut. Ketiga tempat ibadah tersebut juga berdiri secara berdampingan. Komunikasi antar pengurus di gang tersebut menjadi kunci keberhasilan Kampung Tolerasni di Gang Luna untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan dengan keragaman. Struktur organisasi dan pengelolaannya juga berjalan dengan baik. Bahkan, mereka bisa mengadakan suatu event rutin, yaitu bakti sosial. 

Dalam perjalanan ini, kami dibagi menjadi 4 kelompok besar yang dipimpin oleh leader dari pengurus atau warga Kampung Toleransi. Kami diajak berjalan- jalan mengunjungi tempat ibadah yang ada di kampung tersebut. Untuk pertama kalinya juga aku masuk ke tempat ibadah agama lain tanpa ragu- ragu, yaitu 3 dharma (tempat ibadah 3 agama, yaitu budha, hindu, dan kong hu chu). Pak Asoy sebagai leader kami menjelaskan berbagai patung dewa yang mereka sembah. Di tempat tersebut juga sedang ada persiapan untuk Imlek, tapi mereka masih mengizinkan kami untuk mengunjunginya dan melihat- lihat kondisi sekitar. 

Setelah selesai mengelilingi 3 dharma, kami menuju masjid sekalian melaksanakan shalat. Sayang sekali, perjalanan kelompok kami berakhir di masjid saja karena waktunya sudah habis. Kami pun berpamitan dengan Pak Asoy untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya, yaitu ke Farm House.


5. Menikmati Susu Sapi Segar dari Farm House

Seperti biasa, perjalanan kami ke Farm House juga dikawal polisi agar terhindar dari macet, dan memang benar, perjalanan kami berjalan dengan lancar berkat kawalan dari polisi. Perjalanan menuju Farm House membuatku bernostalgia saat menuju ke Baduy, karena melewati tanjakan dan turunan yang lumayan ekstrim. Sesampainya di Farm House kami diberi tiket yang digunakan untuk penukaran susu segar dan tiket masuk. 

Hmmmm, susunya sangat enak dan segar…. Sangat cocok menemani petualanganku untuk menjelajahi wisata Farm House.

Seperti yang kubayangkan, Farm House adalah tempat wisata yang bagus. Di sana banyak spot foto yang menarik dan millennial banget yang sesuai minat kami. Di Farm House inilah kami bisa menikmati KKL seperti layaknya orang liburan karena kami tidak perlu mengumpulkan informasi yang digunakan untuk memenuhi tugas, hehe…

Di Farm House bersama teman- temanku secara bergantian  kami mengambil foto dan video satu sama lain, karena sayang sekali jika moment ini tidak diabadikan, apalagi spot fotonya banyak dan bagus. 

Seharusnya Farm House tutup pukul 5 sore, tapi tidak tahu kenapa tiba- tiba rombongan kami diperbolehkan di Farm House hingga pukul 6 sore. Kebahagiaanku bertambah karena bisa menikmati wisata ini lebih lama, dan lagi- lagi aku mengambil lebih banyak foto bersama teman- temanku. Kami pun jalan- jalan mengeliling Farm House. 

Farm House menjadi destinasi terakhir rombongan kami. Sebelum pulang ke Yogyakarta, kami melakukan foto bersama terlebih dahulu. Di tempat ini pula, ada beberapa teman kami yang rumahnya di Bandung memutuskan untuk berpisah dengan rombongan dan pulang ke rumah masing- masing. Sungguh, ini menjadi perpisahan yang mengharukan karena awalnya kita berangkat dan menikmati perjalanan bersama. Ayah dari salah satu temanku juga membawakan oleh- oleh berupa buah pisang dan rambutan. Kami sangat berterima kasih atas oleh- oleh yang diberikan karena bisa menjadi teman untuk perjalanan kami selama pulang ke Yogyakarta.

Saatnya pulang dan membeli oleh- oleh untuk keluarga. Sepulang dari Farm House, kami berhenti dulu di restoran untuk makan malam dan melaksanakan sholat. Lagi- lagi kami harus melawan cuaca dingin yang menusuk tubuh seperti di Baduy. Tapi, meskipun dingin hidangan yang disediakan enak- enak dan bervariasi sehingga perutku kenyang, hehe…

Tempat pemberhentian terakhir adalah  toko oleh- oleh. Toko oleh- oleh ini tidak sesuai dengan ekspektasiku sejak masih di Jogja sebelum berangkat. Aku agak kecewa, tapi ini juga tidak lepas dari kesalahanku karena terlalu berkeskpektasi pada suatu hal yang belum pasti. Aku hanya membeli oleh- oleh makanan secukupnya dan tidak lupa kaos tulisan West Java untuk adik. 😊

Itulah beberapa tempat yang aku kunjungi selama KKL. Tempat dan kegiatan KKL pastinya berbeda- beda ya setiap jurusan, tergantung panitia penyelenggara dan dosen pengampunya. Tapi, bagiku kegiatan KKL ku sangat seru dan menyenangkan. Tempat yang paling mengesankan untukku adalah Baduy.

  



      

  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Berkelanjutan dan Ketahanan Masyarakat untuk Menanggulangi Risiko Masyarakat

Resiko Kebakaran Hutan Selama Musim Kemarau